Kamis, 08 Oktober 2015

AYAT AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT (2)

MUTIARA AL-QUR’AN (Bagian XXVII / dua puluhtujuh)
AYAT AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT 
MENCARI MAKNA YANG TERSEMBUNYI (TAKWIL)
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh!
Kadang-kadang kita menemukan ayat-ayat yang tidak bisa diartikan secara lahir, maka agar kita tidak keliru dalam memahaminya diperlukan usaha untuk mencari takwilnya atau maknanya yang tersembunyi. Sebagai contah banyak kita temukan di dalam Al-Qur’an ayat mutasyabihat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah, yang menyatakan seolah olah Allah menempati sesuatu atau mempunyai anggota tubuh, padahal Allah itu berdiri sendiri dan tidak menyerupai sesuatu, atau tidak ada yang sama dengannya. Ayat tersebut antara lain:
Dalam surat 20; Thaha ayat 5 
 ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ 
Artinya: (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas Arasy.
Dalam Surat 89; al-Fajar ayat 22:
 وَجَاۤءَ رَبُّكَ وَٱلۡمَلَكُ صَفࣰّا صَفࣰّا 
Artinya:”Dan Tuhanmu dan para malaikat datang berbaris-baris’.
Dalam Surat 6; al-An’aam ayat 61: 
 ثُمَّ رُدُّوۤا۟ إِلَى ٱللَّهِ مَوۡلَىٰهُمُ ٱلۡحَقِّۚ أَلَا لَهُ ٱلۡحُكۡمُ وَهُوَ أَسۡرَعُ ٱلۡحَـٰسِبِینَ 
Artinya:”Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi di atas hamba-hamba-Nya”.
Dalam Surat 39; az-Zumar ayat 56:
  یَـٰحَسۡرَتَىٰ عَلَىٰ مَا فَرَّطتُ فِی جَنۢبِ ٱللَّهِ 
Artinya:”Amat besar penyesalanku atas kelalaianku di sisi Allah”.
Dalam Surat 55; ar-Rahman ayat 27:
 وَیَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَـٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ 
Artinya:”Dan kekal wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan”.
Dalam Surat 20; Thaha ayat 39:
 وَلِتُصۡنَعَ عَلَىٰ عَیۡنِیۤ 
Artinya:”agar engkau diasuh di atas mataku”.
Dalam Surat 48; al-Fath ayat 10:
 یَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَیۡدِیهِمۡۚ 
Artinya:”Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka”.
Dalam Surat 3; Ali Imran ayat 28:
وَیُحَذِّرُكُمٱللَّهُ نَفۡسَهُ
Artinya:”Dan Allah memperingatkan kamu terhadap dirinya”.
Dalam ayat ayat di atas terdapat kata kata :”bersemayam, datang, di atas, disisi, wajah, mata, tangan dan diri.” Yang dibangsakan kepada Allah dan dijadikan sifat bagi Allah. Kata kata tersebut menunjukkan keadaan, tempat dan anggota tubuh yang hanya layak bagi makhluk, tetapi tidak layak bagi Allah. Karena itu terasa sulit untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ayat-ayat tersebut, dan dinamakan dengan ayat-ayat mutasyabihat .
Tentu saja Allah yang maha mengetahui maksud yang sebenarnya, tetapi apakah Para Ulama bisa mengetahui maknanya yang sesungguhnya, maka telah terjadi perbedaan pendapat:
Pertama, Mazhab Salaf (Ulama yang dahulu), mereka meyakini kebenaran ayat-ayat tersebut, tetapi menyerahkan hakikatnya kepada Allah. Mereka tetap mensucikanAllah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini, dan menyerahkan urusan tentang hakikatnya kepada Allah, karena mereka menyerahkannya kepada Allah maka mereka disebut dengan Mufawwidhah / tafwidh (menyerahkan urusan). Ketika Imam Malik ditanya tentang makna “bersemayam” dia memberikan jawaban:”Bersemayam itu bisa dipahami maksudnya, tetapi caranya kita tidak mengetahui, memperetanyakannya adalah termasuk bidh’ah, saya menduga engkau yang bertanya adalah orang tidak baik, keluarkan orang yang bertanya ini dari majlis saya”.
Kedua, Mazhab Khalaf (Ulama yang datang kemudian). Mereka mentakwilkan (menggali makna yang tersembunyi) dari lafaz yang maknanya mustahil kepada makna yang layak bagi zat Allah. Karena itu mereka disebut juga dengan Muawwilah atau mazhab takwil. Mereka memberi makna barsemayam dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasakan kapayahan dan kesulitan. Maksud kedatangan Allah adalah kedatangan perintah-Nya. Maksud Allah di atas para hambanya adalah Allah berada di atas para hambanya dengan maha tinggi dan tidak berada pada suatu tempat. Sisi Allah maksudnya adalah hak Allah. Wajah Allah maksudnya adalah zat Allah. Mata Allah maksudnya pengawasan Allah. Tangan Allah maksudnya kekuasaan-Nya. Diri Allah maksudnya adalah azab-Nya.
Mereka melakukan takwil dengan tujuan agar tidak terjadi kehampaan yang mengakibatkan kebingungan karena membiarkan lafaz terlantar tanpa makna, selama mungkin mentakwilkan ayat dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Ketiga , pendapat yang menengahi kedua mazhab ini sebagaimana yang yang dikemukakan oleh As-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq Al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu dekat dengan bahasa arab bisa diterima, tetapi jika takwil itu jauh maka kita harus tawaqquf (tidak perlu meresponnya). Kita meyakini maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan ayat , tetapi kita tetap mensucikan Allah dari sesuatu yang tidak layak baginya.
Ada beberapa hal yang harus menjadi patokan dasar dalam memahami ayat ayat mutasyabihat ini sessuai dengan pesan surat 3; Ali Imran ayat 7 yang menjadi landasan pembahasannya, yaitu bahwa dia harus sejalan dengan ayat ayat yang muhkamat, lalu tidak bertujuan untuk menimbulkan fitnah, dan harus dilakukan oleh orang-orang yang mendalam ilmunya, serta meyakini kebenaran Ayat, apapun bentuknya. Wallaahu a’lam bishshawab.
Semoga pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al-Qur’an semakin tumbuh dan berkembang, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Dan semoga kita terhindar dari hal hal yang menyimpang dan dari orang orang yang berusaha untuk menyimpangkan atau membelokkan kita dari kebenaran Al-Qur’an yang mengandung makna-makna yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar