Kamis, 08 Oktober 2015

AYAT AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT (1)

MUTIARA AL-QUR’AN (Bagian XXVI / dua puluh enam)
AYAT AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
YANG MUDAH DIPAHAMI DAN YANG SAMAR SAMAR
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh!

 هُوَ ٱلَّذِیۤ أَنزَلَ عَلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِنۡهُ ءَایَـٰتࣱ مُّحۡكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتࣱۖ فَأَمَّا ٱلَّذِینَ فِی قُلُوبِهِمۡ زَیۡغࣱ فَیَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَاۤءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَاۤءَ تَأۡوِیلِهِۦۖ وَمَا یَعۡلَمُ تَأۡوِیلَهُۥۤ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّ ٰ⁠سِخُونَ فِی ٱلۡعِلۡمِ یَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلࣱّ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا یَذَّكَّرُ إِلَّاۤ أُو۟لُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ 
Artinya:
Dialah Allah yang menurunkan Kitab Al-Qur’an kepada kamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an, dan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-rang yang mendalam ilmunya berkata:”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S. 3 Ali Imran ayat 7).
Muhkamat bersal dari kata muhkam yang berrarti kokoh, kuat, tegas, jelas dan mantap sedangkan kata Mutasyabihat berasal dari kata tasyabuh yang berarti keserupaan dan kesamaan yang membawa kepada kesamaran antara dua hal.
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai perbedaan antara Muhkamat dan mutasyabihat antara lain:
1. Menurut As-Suyuthi muhkam adalah seauatu yang telah jelas sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
2. Menurut Ar-Razi Muhkam adalah ayat yang dilalahnya kuat baik maksud maupun lafaznya yang dilalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwal dan sulit dipahami.
3. Menurut Manna’ Al-Qaththan Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
4. Ada juga yang membedakan bahwa muhkam mudah diketahui artinya sedang mutasyabih hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
5. Ada yang mengatakan bahwa muhkam ayat yang mengandung satu segi sedangkan mutasyabih mengandung banyak segi.
Dari satu segi dapat dikatakan bahwa seluruh ayat Al-Qur’an adalah mukam karena semuanya kokoh dan kuat , membedakan antara yang hak dan bathil, benar dan salah. Dan seluruh ayat Al-qur’an adalah mutasyabih karena ayat ayatnya yang punya sesamaan yang satu sama lainnya saling menyempurnakan.
Tapi di sisi lain sebahagian ayat-ayat Al-Qur’an adalah muhkam dan sebahagiannya adalah mutasyabih, ketika kita bertemu dengan ayat yang tegas, mudah dipahami, tanpa memerlukan bantuat ayat lain atau penelitian yang mendalam maka ketika itu dia disebut dengan ayat yang muhkam. Dat ketika kita menemukan ayat yang mengandung beberapa kemungkinan , masih samar samara tau membutuhkan ayat lain sebagai penjelas, atau perlu pemikiran yang mendalam untuk memahaminya, maka ayat-ayat yang seperti ini disebut dengan ayat-ayat mutasyabihat.
Ketika kita memahami surat al-Ikhlash maka dengan mudah kita bisa memahami bahwa Allah itu Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan serta tidak ada sesuatupun yang menyerupainya.
Tetapi ketika kita memahami surat Al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan bahwa iddah wanita yang diceraikan oleh suami adalah tiga kali Quru’; kata quru’ dalam bahasa arab bisa berarti suci dan bisa berarti haidh, maka ada dua kemungkinan pemahaman dari ayat ini, yaitu iddah wanita yang diceraikan oleh suami itu bisa saja tiga kali suci dan bisa pula tiga kali haidh. Dan untuk ini para ulama perlu melakukan pembahasan yang disukung oleh dalil-dalil lain sehingga bisa meletakkan makna yang paling pas terhadap dua kemungkinan itu. Ayat ayat yang seperti ini disebut dengan ayat mutasyabiahat.
Contoh lain kita ambiil darisurat 4; an-Nisaa’ ayat 43 dan surat 5; al Maaidah ayat diman ditemukan kata Laamastumun-nisaa’ yang membatalkan wudhu’ dan mewajibkan mandi. Kata ini menurut sebahagian Ulama maksudnya adalah berhubungan badan suami isteri (Jima’). Tetapi ada yang mengatakan bahwa itu berarti bersintuhan kulit. Bahkan ada yang menyatakan maksudnya bersintuhan kulit dengan bukan mahram dan ada pula yang mengatakan bersintuhan kulit yang menyebabkan timbulnya syahwat. Sehingga mereka berbada pendapat tentang yang membatalkan wudhu’ berdasarkan pemahaman yang berbeda terhadap kata yang sama karena kata itu mengandung makna yang samar-samar.
Perbedaan pendapat dalam memahami ayat yang sama dalam masalah fiqih di sebut dengan khilaf atau ikhtilaf. Akan tetapi walaupun ada perbadaan dalam masalah khilafiah ini tidak boleh saling mengaku bahwa pendapat kita lah yang paling benar, dan harus saling menghargai antara yang berbeda pendapat, dengan demikian akan terciptalah kerukunan sesama ummat Islam yang berbeda pendapat dalam masalah fiqih.
Semoga kita termasuk orang yang arif dalam menyikapi perbadaan pendapat dalam masalah fiqih dan tentu saja kita harus mempelajari dengan baik alasan alasan yang bersumber dari Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Sehingga kita memahami dan bisa mempertanggungjawabkan amal-amal yang kita kerjakan yang kadang-kadang caranya berbeda dengan yang dilakukan oleh saudara kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar